Teungku muhammad saman di tiro lahir dari pasangan ulama yaitu Tengku syekh abdullah dan ibunya Siti aisyah di tiro anak dari seorang ulama yang bernama Teungku Syekh abdussalam muda tiro. Beliau dilahirkan di dayah jrueng negeri cumbok lam lo, tiro daerah pidie.
$ads={1}Bertepatan pada tanggal 1 Januari 1836 atau 1251 hijriah, Dia di besarkan dalam suasana religius yang kental dengan islam. Berguru dengan ayahnya hingga usianya beranjak 15 tahun, kemudian dia kembali melanjutkan pendidikan agama dengan Teungku chik dayah tjut di tiro yaitu pamannya sendiri.
Sebelum pindah ke aceh rayeuk dia juga sempat memperdalam ilmu agama dengan beberapa ulama sepuh lainnya. Setelah hijrah ke aceh besar dengan menghabiskan waktu selama 3 tahun.
Saat siang hari dia gunakan untuk mengaji dan ketika pada malam hari Teungku chik di tiro bergabung bersama teman-temannya dalam berperang melawan penjajah Belanda. Akhirnya dipanggil pulang ke tiro, di mana dia mulai mengajar dengan pamannya di dayah.
Teungku chiek di tiro dan para ulama lainnya berhasil mengumpulkan 6.000 askar pejuang aceh untuk melawan belanda, serta mendapatkan dukungan dari sultan aceh. Perjuangan sebelumnya pada tahun 1870an telah membuat Belanda menggandakan jumlah mereka di Aceh Saat melaksanakan haji di tanah arab (Mekkah),
Teungku chik di tiro terus memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu, dia tidak pernah lupa untuk mencari pemimpin-pemimpin Islam berada di sana, kemudian dia mula tahu perjuangan pemimpin dalam perjuangan menentang imperialisme dan kolonialisme.
Sesuai dengan tuntutan agama islam yang dia imani, Teungku Chik di tiro muhammad Saman rela berkorban apa saja baik harta maupun benda, kedudukan, bahkan nyawanya sendiri demi tegaknya agama allah dan bangsanya. Keyakinan ini kemudian iya buktikan di kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabi.
Tengku chik di tiro adalah sosok yang kembali membangkitkan perang di aceh pada tahun 1881 setelah penurunan serangan melawan belanda. Semua waktu yang dibutuhkan pertempuran terjadi 4 kali pergantian gubernur belanda yaitu,
Abraham pruijs van der hoeven (1881-1883)
Philip franz laging tobias (1883-1884)
Henry demmeni (1884-1886)
Henri karel frederik van teijn (1886-1889)
Suatu hari pada tahun 1880, setelah Teungku chik di tiro kembali ke tiro, sejumlah pejuang aceh mendatangi beliau, dan mencari ulama untuk memimpin pertempuran. Teungku chiek di tiro pun mengajukan diri untuk bergabung dengan askar aceh, markas mereka di Gunung Miram.
Kemudian melakukan perjalanan ke seluruh aceh. Setiap kali dia berhenti di suatu kota dia akan selalu memberikan tausyiah di mesjid-mesjid tentang perang suci dan bagaimana tugas mereka untuk berperang melawan orang-orang kafir. Pada saat yang sama, ia mengirim surat kepada ulama lain untuk menyerukan mereka berperang,
bertekad untuk mengusir Belanda dari Aceh pada tahun 1883. Pada tahun 1885, di Tiro merasa bahwa belanda siap untuk menyerah. Karena itu, ia mengirimkan ultimatum kepada asisten residen van langen, menawarkan perdamaian jika belanda mau masuk Islam.
$ads={2}Meskipun beberapa orang Belanda datang dan mengklaim bahwa mereka ingin pindah agama, mereka kemudian diketahui sebagai mata-mata. Pada tahun 1888 Teungku muhammad saman di tiro kembali mengirim surat namun juga tidak mendapat tanggapan dari pimpinan belanda.
Dan kemudian dia memimpin lebih banyak ekspedisi melawan pasukan belanda, meski masih belum bisa masuk ke Kuta raja. Akhirnya, belanda memiliki taktik lain dengan cara meracuninya. Teungku muhammad saman chiek di tiro akhirnya syahid di Januari 1891 di benteng aneuk galong.